Sabtu kemarin Pdt. Joseph Theo mencontohkan seorang pemimpin yang rela untuk tidak memperoleh apa yang telah diupakayannya. Dia memimpin suatu kumpulan besar orang-orang, masyarakat, suatu bangsa dari mental budak untuk menjadi suatu bangsa di suatu negeri yang baik, negeri yang berlimpah susu dan madunya. Namun ia sendiri tidak sampai ke negeri yang menjadi tujuan mereka. Pemimpin itu bernama Musa.

Saya merenung, ini terjadi kan karena kesalahan Musa sendiri yang tidak menuruti Firman sebagaimana TUHAN memerintahkannya untuk mengeluarkan air dari batu untuk bangsa Israel yang bringas karena kehausan di gurun? TUHAN berfirman berbicara kepada batu, tetapi Musa memukulkan tongkatnya seperti kejadian sebelumnya. Benar, memang air tetap keluar, tetapi SOP nya tidak dipatuhi Musa. Jadi kalau kesalahan ini membuat Musa tidak boleh masuk Kanaan, adalah salahnya sendiri. Jadi apakah pantas dia disematkan suatu label sebagai seorang pemimpin yang tidak menikmati hasil pekerjaannya?

Musa tercatat sebagai seorang manusia yang lemah lembut. Dia membela bangsanya di hadapan TUHAN, sampai dia rela namanya dihapus dari kitab TUHAN asalkan TUHAN tetap berkenan pada bangsa itu. Kalau dia benar seorang pemimpin yang tidak mau menerima bahwa dirinya tidak akan masuk negeri Kanaan, adalah “wajar” seandainya ia juga berkata kepada TUHAN untuk meminta bahwa tidak seorangpun boleh masuk ke sana, sama seperti dia.

Itulah Musa, bangsa yang dia bela di hadapan TUHAN, masuk ke tanah Kanaan tanpa dirinya, saya yakin dia menerima itu semua. Jadi, benarlah Musa sebagai contoh, seorang Pemimpin yang tidak menikmati sesuatupun dari jerih payahnya memimpin suatu bangsa ke tanah yang melimpah susu dan madunya. Musa tidak marah atau bersungut-sungut!

Saya yakin karena dia tahu, bertemu TUHAN, jauh melebihi semua yang ada di tanah Kanaan. Hati yang berkenan kepada TUHAN jauh melebihi dari hasil apapun yang ada di muka Bumi ini. Dialah Musa, One of the great Leader.