Para pakar sependapat bahwa untuk mengerti watak dan perilaku asli suatu peradaban, suku bangsa, etnis di suatu tempat sedikit banyaknya dapat dipelajari dari cerita-cerita rakyat atau dongeng yang secara turun temurun dari mulut ke mulit diceritakan kepada generasi berikutnya.

Hal ini sangat logis sehingga mudah untuk diterima. Dongeng dan atau cerita rakyat yang banyak kita baca (bagi yang sudah sempat dibukukan) di sisi lain dapat kita jadikan sebagai cermin untuk intropeksi diri sehingga kita dapat berkaca bagaimana tingkat kesadaran kita, tanggung jawab pribadi kita, semangat hidup kita dan lain sebagainya.

Dongeng juga dapat memberi kritik kepada kita dan kita dapat tersenyum melihat “kesalahan” kita dan kita tanpa marah bersedia untuk memperbaiki diri.

Sebuah dongeng yang pernah saya dengar adalah itik bertelor emas. Seorang petani memiliki seekor itik, dikisahkan dalam waktu-waktu tertentu dapat memperoleh telur emas dari “produksi” itiknya. Sehingga ia dapat mencukupkan semua kebutuhan anak istrinya tanpa kekurangan dari hasil penjualan telur emasnya (kalau zaman ini kekayaaan seperti ini, jadi milik negara nggak iya?) Demikianlah berlangsung dari tahun ke tahun.

Tetapi itulah namanya suatu ketamakan yang dipelihara sang Petani bertumbuh dalam hatinya, sehingga ia bermaksud ingin mendapatkan emas lebih banyak dari biasanya tetapi karena si Itik tidak dapat memberikan lebih dari satu dalam satu periode tertentu petani itu pun membelah tubuh Itik untuk mendapatkan semua emas yang terkandung di dalamnya. Namun apa yang dia peroleh? Tidak ada sebutirpun telur emas terdapat di tubuh Itik tersebut! Itiknya mati seketika dan petani ini pun kehilangan itik yang sudah berpuluh-puluh tahun setia memberi telurnya buat hidup Pak Tani.